Pena

Masalahin Bakat dan Privilege

Halo, udah lama nggak bikin postingan. Aku ada section baru ini namanya opini, di mana ini tempat aku nulis sesuatu yang benar-benar subyektif menurut sudut pandangku. Sudut pandang ini juga aku dapetin dari pengalaman, obrolan dengan orang lain, dan bacaan yang aku baca. Jadi jangan punya ekspektasi aku bakal nulis referensi yang lengkap dan komprehensif. Feel free to discuss ya!!

Intro

Pernah nggak sih denger kata bakat? Apakah kamu sepakat dengan konsep bakat atau kamu malah yang nggak percaya dengan adanya bakat? Jadi kali ini aku bakalan bahas sudut pandangku soal bakat dan privilege.

Bakat

Percaya nggaksih sama yang namanya bakat? sering di lingkungan sosial kita denger kalo bakat itu bawaan, ada juga orang yang nggak percaya akan adanya bakat. Sebelum ke hal yang lebih dalam, kita sepakati dulu definisi bakat di sini itu apa sih. Jadi, menurut beberapa sumber, bakat atau talent itu kemampuan yang dimiliki individu yang bersifat alami dan natural. Jika dikembangkan, bakat itu bisa bikin orang lebih cepet waktu belajar sesuatu yang merupakan bakatnya, dibandingkan dengan orang yang nggak punya bakat.

Menurutku bakat itu hal yang nyata, dan bisa benar-benar membantu kalo orang pemilik bakat ini bisa eksploitasi kelebihannya. Ada yang punya bakat di berpikir logis dan matematis, ada yang pandai di bidang kesenian, atau bahkan punya kemampuan intrapersonal yang bagus jadi bisa banyak membantu di kehidupan sosial.

Beberapa kali, aku punya obrolan dengan beberapa teman dan mereka punya beberapa jawaban unik mengenai bakat. Namun, sebagian besar ini ada dua pendapat yaitu mereka yang percaya adanya bakat dan yang tidak percaya. Mari kita bedah satu-satu.

Mulai dari yang pertama, bakat itu nggak ada. Kenapa? karena ini opini yang menurutku menarik. Jadi aku pernah diskusi dini hari dengan rekan sekantor terkait bakat. Salah satu yang menurutku berkesan, karena opini yang dilontarkan ini sangat masuk akal. Menurutnya, bakat akan mendiskriminasi dan mengkotakkan manusia ke dalam beberapa bentuk kemampuan. Ketika mereka sudah dikotakkan, maka terkadang akan menjadi hilangnya percaya diri orang itu terhadap kemampuannya. Istilahnya, kita men-discourage duluan kemampuan seseorang, padahal belum tentu dia memang tidak berbakat.

Kita ambil contoh, di lingkungan sosial kita sering banget ada yang bilang ke sebut saja Cici “Gambaranmu bagus banget ci, kayaknya kamu berbakat deh.”. Kalimat tersebut terdengar sangat positif kan? Betul, dari sudut pandang yang menerima pujian. Tapi mari kita coba zoom out dan melihat perspektif yang lebih luas. Ada orang lain juga, sebut saja Caca yang ingin jadi ilustrator, tapi tidak pernah mendapatkan pujian seperti itu. Tentu agak kerdil dia, tidak ada kepercayaan diri terhadap skillnya tersebut karena dia sudah berusaha keras, namun tidak pernah mendapatkan apresiasi dari orang lain. Menurut orang yang tidak percaya bakat, hal ini sangat tidak adil dan mendiskriminasi. Menurutnya, kemampuan itu bisa diasah jika mau berusaha. Buktinya banyak orang yang bisa jadi profesional ilustrator meskipun mereka awalnya mereka menganggap tidak berbakat. Pikirku, betul juga, banyak professional di luar sana yang berjuang mati-matian untuk meraih posisi itu.

Tapi di sini aku malah nemu gap yang bisa diulik. Pernah nggak sih kita ketemu situasi punya teman yang effortless banget kalo belajar sesuatu, trus ulangannya tiba-tiba dapet bagus aja gitu? Padahal sebenernya dia juga nggak belajar banyak, kita yang belajar mati-matian nggak bisa mencapai hasil sama atau mendekatinya. Pasti kesal kan kita sudah berusaha, namun hasil ternyata mengkhianati usaha 😭 😭. Mungkin usaha yang dilakukan kurang keras 😭 😭.

Ini aneh, jika asumsinya nggak ada bakat, tapi kenapa ada ketimpangan seperti itu. Mari sekarang kita asumsikan kalo bakat itu ada. Maka asumsinya, tiap orang punya bakat masing-masing. Setiap orang akan punya common-sense di beberapa bidang tertentu. Namun, ketika dilihat lagi fenomena di sekitar, ada juga kok orang yang nggak tahu sebenarnya bakatnya di mana. Ini menjadi semakin aneh, karena ada inkonsistensi.

Beberapa kemampuan yang tampak adalah kemampuan yang udah aku sebutin tadi, misal menggambar (seni), menghitung, atau bersosial. Kemampuan yang tampak itu, benar-benar bisa dirasakan oleh orang sekitar. Gimana bagi orang-orang yang diasumsikan nggak punya bakat bisa berada di level yang sama dengan orang yang berbakat? Kuncinya ada di kerja keras dan ketekunan. Tapi kan tidak adil, perlu kerja keras dan usaha baru bisa menguasai sesuatu, beda dengan orang yang effortlessly melakukan sesuatu. Ya tidak adil, tapi kan bisa dilatih dan dikembangkan seiring berjalannya waktu.

Aku juga sering diwanti-wanti sama orang tua, “Jangan merasa pintar dan berbakat, di luar masih banyak yang lebih pintar dan berbakat dari kamu. Jangan juga ngeremehin orang yang rajin, karena kamu juga bisa diimbangi dengan kerajinan dan kerja keras mereka.”.

Setelah berkontemplasi, aku juga mikir, gimana kalo sebenernya kemauan untuk bekerja keras itu juga termasuk bakat? Di lingkungan sosial jarang ada yang menganggap sifat yang melekat pada manusia sebagai bakat. Pada konstruksi sosial kita saat ini, sifat yang pantang menyerah, tidak mudah mengeluh, dan sifat positif orang tidak pernah diperhitungkan sebagai bakat. Kemudian aku sampai pada konklusi bahwa apa yang kita dapatkan ketika kita lahir, kemampuan natural, pemberian bentuk tubuh itu semua adalah bakat. Bisa dibilang, semua orang itu gifted punya kesempatan untuk berkontribusi dan beperan berdasarkan kemampuannya masing-masing di lingkungan sosialnya. Bukan berarti ketika orang punya kekurangan, maka orang tersebut tidak bisa berfungsi di lingkungan.

Tapi apakah semua orang dapat berkontribusi di lingkungan sosial sesuai dengan perannya atau tujuan hidupnya? Ini ada lanjutannya yaitu privilege.

Privilege

Udah tau kan ya tadi soal bakat, yaitu titik nol dari setiap manusia. Kemudian ada konsep lain yaitu privilege, yang membantu kita berangkat dari titik nol, ke titik tujuan, jadi ini adalah dua fase yang berbeda ya. Menurut KBBI, privilese (privilege) itu adalah hak istimewa. Hak istimewa dalam apa? banyak hal, seperti memiliki orang tua yang berkecukupan adalah sebuah bentuk privilese. Punya lingkaran pertemanan yang cukup mempunyai status di society, apa lagi? banyak. Tapi kali ini, aku pengen lihat privilese ini sebagai perjalanan hidup, bukan sebagai sesuatu yang harus kita dapatkan atau sesali. Kenapa? karena sebenarnya kita juga bisa mendapatkannya. Tiap orang, bentuk privilese ini memang berbeda-beda.

Aku mau bahas terkait asal di mana kita dilahirkan, yaitu dari lingkungan keluarga. Topik ini cukup aktif dibicarakan di twitter beberapa bulan terakhir. Tempat di mana kita dilahirkan itu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan seseorang. Misal, rafathar, dari lahir juga sudah sultan :__)).

Poinku bukan di sana, tetapi bagaimana kita menyikapi bakat yang sudah kita dapatkan, dan memanfaatkan privilese yang didapatkan untuk memaksimalkan aktualisasi diri. Sebelum itu, ada disclaimer yang memang menurutku ada standar atau threshold yang memang harus disediakan bagi orang tua untuk paling tidak bisa memberikan kehidupan yang layak kepada anaknya. Seperti memberikan makanan, menyediakan fasilitas belajar (bukan berarti harus bagus, tapi paling tidak itu ada.

Aku punya prinsip, biaya hidup itu murah, yang mahal itu gaya hidup. Selama kita mau mengorbankan sedikit kenyamanan, sebenarnya juga kita bisa walaupun agak keras perjuangannya. Tapi karena kondisi itu-lah yang mengasah kemampuan problem solving kita untuk berpikir secara efektif dan melatih sifat kerja keras. Hal-hal kecil dan sederhana seperti ini yang orang sulit untuk melihat, lagi-lagi karena orang kebanyakan terpaku dengan apa yang tampak dari luar. Karena menurutku juga ada dua tipe orang dalam berpikir, yaitu pemikir abstrak (fokus pada konsep dan pemahaman yang dalam, sebelum menawarkan solusi praktis) dan satunya adalah pemikir kongkrit (fokus pada solusi konkrit sebuah masalah berdasarkan apa yang sudah terbukti works). Dari sana sering kali ada kecenderungan pemikir kongkrit ini melihat sesuatu dari luarnya saja.

Kembali pada topik sifat kerja keras dan pemecahan masalah secara efektif tadi, yang dibangun olehnya melalui keadaan, secara tidak langsung, jika dilakukan secara terus menerus pasti ada compounding growth. Sifat dan kebiasaan tadi akan jadi berlipat-lipat seiring berjalannya waktu, seperti bola salju yang menggelinding, makin lama kan makin besasr. Orang tersebut akan jauh-jauh lebih tahan banting (resilien) dibandingkan orang yang tidak pernah dihadapkan oleh keadaan yang sulit. Di sini letak perbedaannya, antara seseorang yang tumbuh di keluarga yang memiliki privilese dan yang tidak. Semua sama-sama punya kesempatan, tapi kesempatannya berbeda, dengan cara yang berbeda, dan hasil akhir yang berbeda.

Berasal dari berkeluarga lebih dari cukup mempunyai hasil akademik yang baik, dan yang dari keluarga biasa saja atau mungkin bahkan kurang, tapi memiliki hasil akademik cukup tapi dengan resiliensi yang lebih baik. Keduanya punya masing-masing unfair advantage dari keadaan dan kemampuan natural bawaan masing-masing yang dimiliki.

Mari kita gali lagi pertanyaan, bagaimana jika orang yang dari keluarga berkecukupan ini, mempunyai orang tua yang punya awareness, sehingga membuat urgensi pada sesuatu agar anaknya ini dapat merasakan pengalaman “kesulitan” untuk melatih resiliensi dan sistematika berpikir anaknya dalam menyelesaikan masalah. Misal, “Kamu seminggu ayah beri jajan Rp. 50.000 ya, nanti kalau kamu mendapatkan X akan ditambahi sekian menjadi Rp. 80.000”. Tapi tentu saja variabel X ini disubtitusikan dengan apa yang sangat dibutuhkan oleh anaknya ini, bukan yang dibutuhkan orang tua. Semangat akan jadi lebih besar, jika memang itu berasal dari dirinya sendiri kan. Tapi kan ada kasusnya kalau orang juga tidak tau apa yang dibutuhkan/diinginkannya, itu bagaimana? nanti bisa jadi bahasan buat ngomongin masalah parenting dan imbasnya terhadap konsep diri seseorang, hehe.

Pengambilan strategi tersebut bisa memicu si anak agar juga dapat resilien dan berpikir efektif dan kreatif untuk menyelesaikan masalah. Tapi permasalahannya, harus ada dulu landasan kompas moral yang tertanam dari si anak itu sendiri, batasan-batasan mana yang benar untuk dilakukan dan tidak benar untuk dilakukan. Mengapa? karena jika tidak didahului itu, akan ada kecenderungan si anak ini menghalalkan segala cara (dengan cara negatif ya).

Dari sudut pandang anak yang berasal dari keluarga yang kurang berkecukupan, biasanya juga sudah ada urgensi untuk dapat meraih kesuksesan. Salah satu cara paling umum untuk mencapai itu ya dengan mendapatkan prestasi akademik dan menempuh pendidikan tinggi formal. Kenapa aku menggunakan kata “biasanya”? Ya simply karena our genes has ability and instinct to survive.

Sederhananya adalah seperti itu, namun realitanya ini cukup kompleks. Karena ada batasan yang aku udah sebutin tadi, dua keluarga tadi itu satunya “cukup dengan batas minimal sekali”, dan satunya “berkecukupan”. Tidak yang sangat timpang sekali, tapi paling tidak poin dari kasus itu adalah gambaran dan pemaknaannya. Pada kasus dengan ketimpangan yang cukup parah, ya karena itu adalah tugas dari pembuat kebijakan. Selain itu, aku juga selalu merasa nggak pernah menyesali apapun keputusan dan apa yang sudah ada di hidupku. Mengurangi complaints dan menyadari bahwa ada perbedaan garis start itu juga sudah biasa. Awareness seperti itu juga sudah sangat cukup membuatku tenang, fokus pada apa yang bisa aku rubah dari kondisi saat ini dan yang ku tuju.

Jadi, seperti itu opini dan reasoning dariku kenapa kita harus aware dan mencoba mengambil perspektif lain terhadap suatu masalah. Semua orang punya unfair advantage, entah itu bawaaan atau dari lingkungan tempat dia bertumbuh, setiap orang pasti punya. Bagaimanapun juga, untuk menanggapi masalah bakat dan privilese, dibutuhkan ketenangan. Komplain terhadap keadaan dan menyalahkan pihak luar akan menambah derita kita dan tidak menyelesaikan masalah, fokus sama apa yang bisa dilakukan aja, aware sama masalah, lingkungan yang mungkin saja memberikan kesempatan dan bisa dimaksimalkan. Begituu.

Dari cerita dan permasalahan itu, kalau dilihat secara holistik, ada celah yang bisa dieksplor lagi yang pengen aku bahas juga, seperti gaya berpikir abstract thinking dan concrete thinking, yang juga sangat-sangat berpengaruh dengan cara belajar, dan juga ada parenting dan konsep diri. Mungkin next time kali yaaa, karena itu di luar scope artikel ini. Byeee!