Pena

Menjadi Pribadi Yang Resilien di Tahun Sulit Ini

Tahun 2020 baru berjalan satu kuartal, banyak banget orang yang sambat-sambat di sosial medianya. Berawal dari pandemi COVID-19 yang akhirnya merambat ke mana-mana. Tidak bisa keluar rumah sembarangan, menjaga jarak dengan manusia lain atau kita sebut physical distancing.

Saat-saat sulit seperti ini bisa menguji manusia untuk jadi lebih baik waktu menghadapi permasalahan. Tapi kalau terlanjur merasa down, tips-tips ini bisa dicoba untuk membantumu resiliensi diri.

Tahun 2020 baru berjalan satu kuartal, banyak banget orang yang sambat-sambat di sosial medianya. Berawal dari pandemi COVID-19 yang akhirnya merambat ke mana-mana. Tidak bisa keluar rumah sembarangan, menjaga jarak dengan manusia lain atau kita sebut physical distancing.

Saat-saat sulit seperti ini bisa menguji manusia untuk jadi lebih baik waktu menghadapi permasalahan. Tapi kalau terlanjur merasa down, tips-tips ini bisa dicoba untuk membantumu resiliensi diri.

Tentang Menjadi Resilien

Resilien itu kemampuan seseorang untuk merecovery diri atau bertahan dalam situasi yang sulit. Menjalani kehidupan, pasti banyak masalah, cobaan, maupun tekanan, makanya kemampuan ini penting untuk dipelajari. Sebenernya banyak arti resiliensi menurut ahli psikologi, cuma ya aku nggak pengen ini jadi jurnal ilmiah 😉.

Kemampuan Dasar

Katanya Reivich dan Shatte terdapat tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi dan hampir tidak ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik. Ini kemampuan dasar untuk menjadi pribadi yang resilien menurut beliau.

1. Regulasi Emosi

Ini adalah kemampuan untuk tetap bertahan, tetap tenang, dan tetap fokus di bawah tekanan. Orang yang punya regulasi emosi yang baik biasanya bisa mengendalikan rasa sedih, rasa cemas, atau marah jadinya masalah cepet selesai karena diselesaikan tanpa melibatkan emosi negatif.

2. Pengendalian Impuls

Yaitu kemampuan untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, dan tekanan yang muncul. Orang yang biasanya susah mengendalikan keinginan biasanya cepat mengalami perubahan emosi. Kalau parah bisa emosi yang mengontrol pikiran dan tindakannya.

3. Optimis

Orang yang optimis biasanya lebih sehat, bahagia, jarang mengalami depresi, lebih baik performa akademis atau pekerjaannya.

4. Analisis Penyebab Masalah

Cara berpikir seseorang berpengaruh terhadap caranya menganalisis penyebab dari permasalahan yang ada. Gaya berpikir sendiri dibagi menjadi 3 yaitu

1. Personal (saya - bukan saya)

Gaya berpikir yang fokus dari masalah adalah diri sendiri (internal) atau menyalahkan orang lain (eksternal) atas permasalahan yang terjadi.

2. Permanen (selalu - tidak selalu)

Gaya berpikir yang mengasumsikan masa depan sama atau tidak sama dengan keadaan saat ini. Contoh, seorang yang optimis biasanya menganggap kegagalan menjadi suatu hal yang lumrah dan merupakan ketidakberhasilan sementara dan yang pesimis yang mengalami kegagalan menganggap akan gagal terus.

3. Pervasive (semua - tidak semua)

Gaya berpikir yang berpikir kegagalan pada sesuatu di hidupnya berarti semua hidupnya gagal.

Biasanya orang yang resilien punya kognisi yang fleksibel, bisa mengidentifikasi penyebab masalahnya tanpa terperangkap pada analisis penyebab masalah tertentu.

5. Efikasi Diri

Yaitu kemampuan untuk meyakinkan diri sendiri untuk dapat berhasil dan sukses. Biasanya memiliki komitmen tinggi dan tidak gampang menyerah.

6. Aspek Positif

Pribadi yang bisa meningkatkan aspek positif dapat membedakan risiko realistis dan tidak realistis. Orangnya juga biasanya punya gambaran luas dari setiap sisi kehidupan.

Kemampuan-kemampuan dasar itu penting buat menjadikan pribadi yang resilien. Biar mudah dipahami, mari dikaitkan dengan masalah yang kita alami saat ini karena pandemi global COVID-19 ini.

Tentang Masalah Yang Dihadapi

Yuk kita identifikasi masalah-masalah yang kita hadapi saat ini. Dari yang terdekat, yang dirasakan oleh semua kalangan sebagai mahasiswa:

  • Bosen di rumah,
  • Kuota cepet habis gara-gara semua yang dilakukan jadi remote termasuk kelas dan cara mengerjakan tugas,
  • Kesulitan belajar,
  • Nggak bisa ketemu temen,
  • Nggak bisa main, dan yang paling parah
  • Jadi nggak produktif

Dan yang (mungkin) dirasakan oleh semua kalangan seperti

  • Pemasukan berkurang,
  • Harga saham atau investasi yang sudah dibeli mendadak turun,
  • Kenaikan harga pangan,
  • Nilai rupiah yang melemah,
  • Kelangkaan barang-barang untuk sanitasi,
  • Jauh sama pasangan alias LDR gara-gara kebijakan PSBB, atau yang paling parah
  • Putus sama pasangan

Masalah-masalah yang berkutat di sekitar itu kalau dilihat mesti berat. Tapi coba dulu untuk dijalani. Aku selalu percaya kalo Tuhan memberikan cobaan itu untuk meningkatkan experiences kita biar bisa naik level, hehe. 😉

Menghadapi Masalah

Aku tidak merasa aku adalah pribadi yang resilien sepenuhnya, ini masih on progress ya! Tapi aku merasa kalo beberapa waktu terakhir setelah menerapkan ini aku merasa lebih baik. Aku juga nggak merasa mengalami masalah yang cukup berat, masih ada yang lain yang mungkin lebih sulit daripada masalah yang aku hadapi. Tapi konsep-konsep ini tetap aplikatif dan tidak usang menurutku.

Menerapkan Filosofi Stoa/Stoisisme

Filosofi ini menurutku membuat kita jadi bahagia, nggak gampang baper dan jadi pribadi yang kuat secara mental dan pemikiran. Nah caranya seperti ini.

Hidup selaras dengan alam

Sebagai makhluk di bumi, kita tidak hidup sendirian. Kita hidup berdampingan dengan alam. Kita tidak bisa melawan hukum alam.

Seperti ketika hari ini hujan, harusnya kita tidak boleh merasa dongkol karena hujan tersebut misalkan kita jadi nggak bisa ketemuan dengan pasangan. Yang harus dilakukan adalah dengan bersyukur, karena kita sebagai manusia diberi akal untuk berpikir karena dengan marah-marah saja kita tidak bisa membuat hujannya berhenti.

Menggunakan anugerah otak kita untuk berpikir juga merupakan bentuk hidup selaras dengan alam. Itu adalah kelebihan kita dibandingkan makhluk-makhluk lain, jangan sampai kita sebagai manusia tidak selaras dengan alam dengan tidak menggunakan otaknya untuk berpikir.

Memahami dikotomi kendali

Kita bisa memisahkan apa-apa saja yang ada di hidup kita menjadi dua hal, yaitu hal-hal yang bisa dikendalikan dan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Lalu apa contohnya hal-hal yang bisa kita kendalikan ? Itu pemikiran kita, opini kita, persepsi kita, keinginan kita, respon kita, tujuan kita, dan lain-lain. Dan apa yang tidak bisa dikendalikan ? Ya sebaliknya, pemikiran orang, opini orang lain, persepsi orang lain, reputasi kita, kekayaan kita, atau kesehatan kita.

Contoh adalah ketika orang lain menganggap kita orang yang menyebalkan, abaikan saja. Cukup abaikan saja opini orang tersebut karena kita tidak memiliki kendali terhadapnya. Yang bisa kita kendalikan adalah memilih cara kita merespon, seperti mengabaikan atau malah kita memperlakukan orang itu tetap dengan baik.

Contoh lain adalah cara kita merespon pandemi ini, apakah memilih untuk panik atau tetap tenang dan waspada. Tetap jaga kesehatan ya teman-teman~.

Ada kendali kita sebagian

Beberapa hal yang tidak bisa kendalikan seperti kekayaan kita, kesehatan kita, reputasi kita sebenernya dapat dikategorikan sebagai hal-hal yang bisa dikendalikan sebagian. Yaitu berusaha, namun pasrah terhadap hasilnya karena hal tersebut bukan dalam kendali kita.

Contoh kita adalah seorang pelajar yang ingin mendapatkan nilai yang bagus pada saat ujian, kita telah berusaha semaksimal mungkin belajar siang malam. Namun pada hari kita menempuh ujian, terhadap kendala-kendala misal komputer yang kita gunakan untuk mengerjakan mengalami error, atau hal yang terparah adalah kita sakit dan akhirnya tidak dapat mengikuti ujian. Tentu hal tersebut adalah hal yang tidak enak, namun kita tidak bisa mengendalikannya. Ngapain dipikir dalam-dalam ? Emosi kita juga tidak merubah keadaan juga kan ? Sekali lagi, yang bisa dilakukan adalah menerimanya dengan perasaan ikhlas.

Contoh lain adalah misalkan kita mengidam-idamkan seseorang untuk menjadi pasangan kita. Bukannya kita pasrah dan menyerah sebelum melakukan pendekatan karena merasa tidak worth it untuk calon pasangan. Kita bisa berusaha, dengan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang worth it seperti mengajaknya jalan, mendengarkan ketika calon pasangan curhat, menemaninya dalam masa-masa sulitnya. Itu adalah usaha-usaha keras kita untuk membuktikan cinta ke calon pasangan, tapi perasaan calon pasangan dan persepsi calon pasangan kepada kita adalah hal yang tidak bisa dikendalikan dan dipaksakan.

Mengendalikan interpretasi dan persepsi

Setiap kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar, kita secara tidak sadar menginterpretasikanya dan membuat persepsi kita sendiri. Padahal hal tersebut akan membuat kita khawatir akan hal-hal yang terjadi. Jika ditelusuri, yang membuat kita khawatir adalah pemikiran kita sendiri oleh karena kita bisa mengendalikan pemikiran kita, maka selayaknya kita dapat menyaring informasi yang masuk dengan baik.

Contoh ketika ada kejadian pacar kamu salah memanggilmu dengan nama mantannya. Kemudian kamu berpikir kalau pacarmu belum bisa move on terhadap mantannya, udah jahat padahal kamu sayang banget udah berkorban segalanya buat mantan.

Padahal jika dilihat, itu adalah kejadian yang wajar jika dia sudah sangat lama dengan mantannya dan secara tak sadar kadang memanggilmu dengan nama mantannya. Itu adalah persepsi dan interpretasi yang salah. Faktanya adalah pacarmu memanggilmu dengan panggilan mantannya secara tidak sengaja, tapi pikiranmu sendirilah yang membuatnya menjadi meresahkan dan membuat overthinking.

 

Contoh-contoh di atas dalam penerapan filosofi teras / stoa / stoisisme menunjukkan bahwa sebagian besar keresahan, baper, dan overthinking penyebabnya adalah pemikiran kita. Kalau ditarik lagi, kita belum mampu mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan dengan baik. Oleh karena itu, jangan menggantungkan kebahagiaan pada orang lain, karena itu bukan kendali kita.

Minimalisme

Hidup minimalis menjadi hal yang harus dilakukan untuk tetap dapat menghemat apa yang kita konsumsi di tengah kelangkaan barang-barang yang ada sekarang. Minimalis adalah sebuah mindset “Less is more”. Mengapa bisa begitu ?

Makin sedikit makin fokus

Ketika kita lebih memiliki sedikit barang, maka kita akan lebih mudah mengingat hal-hal yang kita punya. Dengan memiliki sedikit barang, kita akan merawatnya dengan baik. Kapasitas, waktu, tenaga kita terbatas, maka manfaatkan dengan baik terhadap apapun yang kita cintai baik barang maupun seseorang.

Contoh kamu punya 2 smartphone, kamu akan kerepotan untuk mengurusinya semua mulai dari aplikasi yang terinstall, merawat kedua provider. Kamu tidak akan bisa fokus merawatnya dengain ditambah lagi untuk merawat gadget-gadget yang lain. Kalau hanya 1 smartphone maka hidup kamu akan lebih tenang untuk tidak mengecek sana-sini. Pengeluaran juga berkurang karena fokus menggunakan satu provider saja. Hidupmu akan jadi jauh lebih simpel.

Hal lain yang kita dapatkan dengan memiliki sedikit barang adalah tidak repot-repot untuk membersihkannya.

Misal kita memiliki patung-patung di rumah, perabotan yang banyak atau barang-barang yang bertumpuk itu akan menyulitkan kita untuk membersihkan rumah. Alasan klasik yang biasa muncul pertama kali adalah malas memindahkan barang-barang tersebut. Pemikiran ini merugikan kita, membuat kita tidak nyaman di rumah karena kotor namun malas membersihkannya. Bayangkan ketika kita memiliki sedikit perabotan, membersihkan rumah akan menjadi hal yang sangat mudah dan menyenangkan.

Oleh karena itu biasanya praktisi minimalisme membuang barangnya atau biasa disebut dengan decluttering. Dengan membuang atau menyumbangkan kepada orang lain maka itu dapat membersihkan barang-barang tidak berguna (jika itu sampah) atau yang tidak seberapa dibutuhkan. Perlu untuk digarisbawahi juga adalah dengan menjual atau memberikan barang tersebut jika barang tersebut masih layak dapat mengurangi kemubaziran.

Menghindari Konsumerisme

Yang terpenting adalah dapat memisahkan yang mana yang merupakan kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Jika sudah bisa memisahkan yang mana kebutuhan dan yang mana keinginan, maka kita dapat mengendalikan kapan kita harus membeli sebuah barang atau jasa dan kapan kita tidak membeli barang atau jasa. Jika dirasa barang yang ingin dibeli tidak esensial maka harus dipertimbangkan lagi apakah kita akan membelinya atau tidak.

Contoh sekarang di Surabaya sangat panas, kamu memerlukan jaket untuk menghindarkan kamu dari panasnya terik matahari. Kamu membeli sebuah jaket. Itu adalah sebuah kebutuhan. Namun ketika kamu ingin untuk membeli jaket lagi, tanpa alasan yang jelas dan mendesak seperti menambah stok maka itu adalah keinginan. Seleksi barang-barang yang digunakan dan jumlahnya dengan baik agar tidak mubazir ketika barang tersebut tidak dipakai.

Dengan hidup menghindari konsumersime, kita bisa menghemat pengeluaran kita dan menggunakannya untuk hal-hal yang lebih penting. Terlebih di tengah keadaan ekonomi yang kian memburuk akibat pandemi. Kita kudu pandai-pandai memanajemen pengeluaran dan hasrat kita.

Mengingat Less is more adalah kunci utama, dengan memanfaatkan yang ada kita jadi lebih bisa menerima keadaan kita dan bersyukur terhadapnya. Se-sederhana masih mendapatkan tubuh yang sehat, memiliki rumah untuk tinggal, memiliki uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan primer di keesokan harinya. Dengan bersyukur dan menjalani hidup secukupnya maka kita bisa hidup dengan efisien dan tidak mubazir. Di tengah kelangkaan ini, kita juga perlu menyisakan kebutuhan-kebutuhan pokok yang orang lain juga sangat memerlukannya, tapi kita malah memubazirkannya.

Kesimpulan

Dari contoh-contoh tersebut, hal-hal yang aku dapatkan adalah mindset tentang apa-apa yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan. Dengan begitu emosi yang dirasakan menjadi lebih jelas dan masuk akal daripada hanya ngomel-ngomel gak jelas. Dan yang kedua yaitu dengan memanfaatkan apa saja yang ada, bersyukur dengan apa yang telah dimiliki, membuang atau menjual barang yang tidak diperlukan, membuat kita lebih bisa menikmati hidup untuk tidak terpaku pada pandemi ini.

Lalu apa hubungannya dengan menjadi peribadi yang resilien dengan mindset ini ? Jika dilihat lagi, konsep stoa / stoisisme adalah yang utama untuk mengendalikan emosi kita seperti regulasi emosi, mengendalikan impuls (respon) terhadap sebuah perasaan, optimis, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan aspek positif yang dapat kita timbulkan dari dalam diri kita.

Memang tidak mudah untuk melakukan hal-hal ini. Tapi aku percaya teman-teman yang ingin menerapkan ini diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk dapat melakukan agar setelah dapat menghadapi pandemi ini bisa jadi pribadi yang lebih baik.

Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ya teman-teman, stay safe, stay at home! 👼

Referensi

  • Reivich, K & Shatte, A. 2002. The Resilience Factor; 7 Essential Skill For Overcoming Life’s Inevitable Obstacle. New York, Broadway Books
  • Henry Manampiring. 2019. Filosofi Teras. Jakarta, PT Kompas Media Nusantara
  • Fumio Sasaki. 2018. Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama