Pengalaman tentang Ruwetnya Kemiskinan Struktural
Dari beberapa artikel yang pernah aku tulis, sepertinya ini akan jadi satu artikel yang paling personal karena membahas pengalaman pribadi. Perihal kemiskinan struktural, permasalahan paling rumit dan mungkin masalah dari sebagian besar masalah orang-orang di sekelilingku. Sebagai seorang yang bertumbuh di keluarga keluarga kelas bawah yang hidupnya pas-pasan, aku cukup kredibel untuk punya pandangan terhadap masalah ini. Kalau dibilang bawah banget, sebenarnya juga tidak sebegitunya, karena kebutuhan sehari-hari terbilang masih terkendali meskipun dengan standar yang cukup rendah.
Orang tua kami waktu itu bekerja sebagai penjahit borongan, yang menghidupi aku dan kakak perempuanku yang 6 tahun lebih tua. Penjahit borongan adalah penjahit yang dibayar ketika ada yang dikerjakan. Penghasilan yang diperoleh sebanding dengan apa yang dikerjakan. Jadi, semakin banyak yang dikerjakan, semakin banyak juga penghasilan yang diperoleh. Karena sistem itulah, orang tua kami banyak menghabiskan waktu untuk bekerja agar dapat penghasilan lebih. Tapi, semua itu ada batasnya, yaitu tenaga. Sehingga kami harus bergotong-royong membagi tugas rumah, menata sistem, dan kebiasaan untuk meringankan beban. Jika dilihat dari kemampuan menghasilkan uang, masih cukup untuk menghidupi kami sekeluarga namun sangat pas-pasan. Hidup paycheck-to-paycheck. Meskipun begitu, kami masih merasa cukup beruntung, karena beberapa keluarga lain yang aku kenal, masih lebih banyak yang punya permasalahan finansial yang lebih parah.
Pada masa sekolah, kadang aku merasa tidak punya waktu dan tenaga untuk belajar, berpetualang dan bersosial karena banyaknya aspek kehidupan yang harus dilakukan, meskipun memang tugas utama di masa itu adalah belajar. Selain itu, kami semua terbiasa berhemat sampai benar-benar di luar batas kewajaran hemat pada umumnya. Kami sudah melakukan frugal living sebelum menjadi tren di sekitar tahun 2020-an. Kami adalah contoh nyata kaum mendang-mending pada masanya. Gizi masih terpenuhi dengan masakan rumah yang berfokus pada bahan makanan murah seperti tahu, tempe, telur, ayam, sayur dan buah. Selain itu, setiap barang rusak akan selalu berusaha untuk diperbaiki sendiri untuk meminimalisir pengeluaran. Hal tersebut bukan tanpa alasan, kami juga beberapa kali mendapatkan pengalaman dengan oknum tukang servis yang mengada-ada sehingga harus mengeluarkan uang yang lebih dalam untuk membeli spare part yang sebetulnya nggak diperlukan. Liburan-pun hanya menjadi angan-angan kemewahan di keluarga kami, jangankan untuk budget, waktu saja kami tidak punya. Betapa bingungnya aku ketika liburan sekolah dan mendapatkan tugas menceritakan liburan padahal aku nggak kemana-mana 🥲.
Dari sepenggal kisah tersebut, beberapa masalah saling berkesinambungan dan menimbulkan masalah lain. Mulai dari masalah finansial, memaksa kami untuk bekerja lebih keras agar dapat bertahan hidup. Jam kerja di luar kewajaran 40 jam per minggu tersebut memicu stres berkepanjangan, kelelahan dan tersitanya sebagian besar waktu. Hampir tiap hari jarang kami dapat bersantai, mood kami benar-benar sangat fluktuatif selama bertahun-tahun. Permasalahan seperti fisik yang dipacu, waktu yang dihabiskan, mental yang dipaksa untuk terus bertahan seperti sudah biasa dan menurut kami wajar meskipun itu semua tidak sehat bagi keluarga lain yang kemampuan finansial dan pendidikannya jauh di atas kami. Dengan tekanan hidup seperti itu dalam belasan tahun, keluarga kami masih sangat percaya kalau hanya pendidikan yang dapat merubah keadaan nasib kami.
Kami cukup bersyukur karena orang tua kami sangat mendukung pendidikan. Tidak hanya dengan membiayai, tapi juga menuntun tapi juga membina kami dengan prinsip logika, manajemen, dan kemandirian. Jadi bentuk dukungan orang tua kami bukan sekedar biaya, tapi mereka sangat memahami tahapan kami bersekolah beserta menyiapkan pendukung seperti buku, transportasi dan gadget. Perencanaan biaya itu dilakukan jauh-jauh bulan (atau bahkan tahunan) karena memang sangat sulit untuk membiayai itu semua dengan beberapa kali gaji orang tua kami di kala itu.
Untuk melewati masa-masa itu, orang tua kami fokus pada pendidikan terbaik yang dapat dijangkau. Secara umum, kami tidak pernah merasa kekurangan ketersediaan fasilitas untuk menunjang pendidikan. Tapi hal yang jadi pertimbangan kami dalam memilih pendidikan adalah:
- Tidak membebani finansial, dulu sekolah negeri di Surabaya gratis hingga 12 tahun (tapi yang terlaksana hanya 11 tahun)
- Tidak terlalu jauh, karena jika terlalu jauh akan rentan merasa capek ketika perjalanan. Selain itu juga menghindari antar-jemput, karena kembali lagi waktu dan tenaga adalah sumber daya yang paling berharga bagi keluarga kami.
Dua kriteria tersebut wajib dipenuhi agar tidak menambah konsekuensi beban. Sehingga memang segala bentuk keputusan, strategi benar-benar berdampak pada bagian hidup yang lain. Secara opsi memang terbatas, tapi keterbatasan adalah teman sehari-hari kami. Selalu ada pengorbanan yang harus dilakukan, tapi seperti biasa kami juga menghitung setiap sumber daya yang dimiliki untuk dimanajemen dan dimaksimalkan sepanjang perjalanan.
Beberapa keputusan strategis juga sempat aku ambil semasa kuliah. Beberapa diantaranya adalah dengan bekerja sembari berkuliah selama ada kesempatannya, karena satu tahun sebelum covid orang tua kami kehilangan pekerjaannya. Belum setahun bekerja, perusahaan tempat aku bekerja mulai goyang dan tidak mampu membayar gaji selama berbulan-bulan. Meskipun sebentar, aku merasa sangat terbantu untuk meringankan beban setidaknya di kepalaku sendiri, mengurangi kemungkinan skenario terburuk terjadi. Selain itu, aku juga memutuskan untuk mencari tempat magang dan mempercepat kelulusan agar dapat masuk ke industri lebih cepat. Tempat magang tersebut sampai saat ini jadi tempat aku bekerja sampai saat ini.
Sejauh ini aku nggak pernah menyesal dengan keputusan-keputusan yang telah kami pilih. Pada akhirnya keputusan yang kami pilih, berdasarkan kemampuan berpikir yang bisa diperoleh dari pendidikan. Pendidikan membantu kami untuk menjadi rasional dalam memilih keputusan yang menghasilkan lebih banyak nilai, sustainable (berkelanjutan) bagi kesehatan dan kemampuan kami, serta memiliki risiko paling minim.
Di masa sekarang, keluarga kami sudah cukup rileks dan tidak terlalu mengkhawatirkan masalah finansial. Cacian dan makian atas keputusan kami, bahkan perlakukan menyepelekan kami juga berkurang drastis. Di titik ini, kami merasa bersyukur sudah melewati perjuangan panjang berpuluh-puluh tahun tersebut. Meskipun kami semua sebenarnya masih merasa kurang aman di masa depan (terlebih akan masifnya berita orang kehilangan pekerjaan dan jatuhnya penduduk kelas menengah di Indonesia), tapi setidak-tidaknya sebagian besar kekhawatiran kami sudah hilang. Permasalahan seperti tenaga, waktu, pikiran, mental, sosial sudah berkurang drastis di 3 tahun terakhir.
Kami masih sering mengambil kesempatan untuk menambah penghasilan ketika memungkinkan. Orang tua kami sudah mulai berumur, tenaga sudah tidak seperti masa muda, namun ketika ada kesempatan tak jarang aku mendukungnya. Selain agar tetap merasa produktif dan bernilai di kehidupan sosial, tetap produktif juga dapat memperlambat proses penuaan fisik dan pikiran. Saat ini pun aku bekerja di sebuah perusahan sekarang penuh waktu dan part time di perusahan lain, selama masih terkendali (dan sejauh ini masih terkendali, semoga).
Semangat untuk teman-teman yang masih berjuang. ðŸ¤